Dalam beberapa dekade terakhir ini masyarakat dunia telah mengembangkan 100.000 jenis bahan kimia sintetis yang digunakan untuk mengendalikan penyakit, meningkatkan produktifitas pangan, memberikan kenyamanan dalam kehidupan sehari-hari. Angka tersebut belum termasuk permbahan sekitar 1500 jenis bahan kimia baru setiap tahunnya. Hal ini terjadi karena adanya kecenderungan pola perilaku ekonomi berbasis karbohidrat ke arah pola perilaku ekonomi berbasis bahan kimia.
Dari bahan kimia yang dihasilkan tersebut terdapat kategori sebagai bahan pencemar organik yang persisten (persistent organic pollutants) atau lebih dikenal dengan nama POPs. POPs ini memiliki sifat racun (toksik) sulit terurai, bioakumulasi dan terangkut baik melalui udara, air dan spesies berpindah dan melewati batas internasional serta tersimpan jauh dari tempat pelepasan, tempat bahan tersebut berakumulasi dalam ekosistem darat dan air.sifat-sifat tersebut harus diwaspadai mengingat dampaknya bagi kesehatan manusia dan lingkungan hidup. Sebagian besar masyarakat di Indonesia belum mengetahui dampak negative bahan pencemar organik yang persisten terhadap lingkungan hidup dan kesehatan manusia khususnya kelangsungan hidup generasi mendatang.
Menurut konvensi Stockholm, POPs terdiri dari 3 kategori, yaitu :
1. Pestisida berupa : Dichloro-diphenyl-trichloroethane (DDT), Aldrin, Endrin, Dieldrin, Chlordane, Heptachlor, Mirex dan Toxaphene.
2. Bahan kimia industri berupa Polychlorinate biphenyl (PCB) dan Hexa-chlorobenzene (HCB)
3. Produk yang tidak sengaja dihasilkan berupa Polychlorinated dibenzopdioxins (PCDD), Polychlorinated dibenzofurans (PCDF), Hexachlorobenzene (HCB) dan Polychlorinated biphenyl (PCB).
Aldrin (pestisida untuk membunuh rayap, belalang, cacing dan hama serangga lainnya) Chlordane (pestisida mengendalikan rayap dan serangga dengan spektrum yang lebih luas) DDT (pestisida untuk melindungi manusia dari malaria, tikus dan penyakit lainnya), Dieldrin (mengendalikan hama tekstil), Endrin (mengendalikan hama tikus dan hama pengerat lainnya) heptachlor (membunuh serangga tanah, rayap, belalang dan nyamuk)
Mirex (membunuh semut dan penghambat api), Toxaphene (melindungi tanaman kapas, padi, kacang-kacangan dan sayuran) hexachlorobenzene (membasmi jamur tanaman)
PCB (bahan industri sebagai cairan penyangga panas dalam trafo dan kapasitor serta sebagai bahan tambah dalam cat. kertas karbon dan plastik)
Dioxin (bahan hasil pembakaran tidak sempurna dalam proses pembuatan pestisida dan bahan kimia lain), Furans (hasil pembakaran tidak sempurna yang mengeluarkan dioxin, bahan ini ditemukan dalam campuran PCB yang diperdagangkan)
Menyadari akan resiko bahan POPs bagi kesehatan manusia dan lingkungan hidup, maka pada bulan februari 1997 United Nations on Environmental Programme (UNEP) memutuskan penyusunan pengaturan mengenai POPs. Keputusan tersebut ditindak lanjuti dalam siding World Health Organization (WHO) yang menerima pengaturan mengenai POPs pada bulan mei 1997. Selanjutnya pada bulan juni 1998 Komisi Antar Pemerintah memutuskan pengaturan mengenai POPs agar ditingkatkan menjadi suatu konvensi. Pada tanggal 23 mei 2001, sebanyak 151 negara termasuk Indonesia menandatangani Stockholm Convention on persistent Organic Pollutants (Konvensi Stockholm tentang Bahan Pencemar Organik yang Persisten). Konvensi ini mulai berlaku (entry into force) pada tanggal 17 mei 2004.
Konvensi ini bertujuan untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan hidup dari bahan POPs dengan cara melarang, mengurangi, membatasi produksi dan penggunaannya serta mengelola timbunan bahan POPs yang berwawasan lingkungan.
Dampak POPs bagi kesehatan manusia antara lain gangguan sistem kekebalan tubuh, kanker, sistem susunan saraf, berdampak kronis pada proses reproduksi, gangguan pencernaan dan lesi pada kulit
Dari bahan kimia yang dihasilkan tersebut terdapat kategori sebagai bahan pencemar organik yang persisten (persistent organic pollutants) atau lebih dikenal dengan nama POPs. POPs ini memiliki sifat racun (toksik) sulit terurai, bioakumulasi dan terangkut baik melalui udara, air dan spesies berpindah dan melewati batas internasional serta tersimpan jauh dari tempat pelepasan, tempat bahan tersebut berakumulasi dalam ekosistem darat dan air.sifat-sifat tersebut harus diwaspadai mengingat dampaknya bagi kesehatan manusia dan lingkungan hidup. Sebagian besar masyarakat di Indonesia belum mengetahui dampak negative bahan pencemar organik yang persisten terhadap lingkungan hidup dan kesehatan manusia khususnya kelangsungan hidup generasi mendatang.
Menurut konvensi Stockholm, POPs terdiri dari 3 kategori, yaitu :
1. Pestisida berupa : Dichloro-diphenyl-trichloroethane (DDT), Aldrin, Endrin, Dieldrin, Chlordane, Heptachlor, Mirex dan Toxaphene.
2. Bahan kimia industri berupa Polychlorinate biphenyl (PCB) dan Hexa-chlorobenzene (HCB)
3. Produk yang tidak sengaja dihasilkan berupa Polychlorinated dibenzopdioxins (PCDD), Polychlorinated dibenzofurans (PCDF), Hexachlorobenzene (HCB) dan Polychlorinated biphenyl (PCB).
Aldrin (pestisida untuk membunuh rayap, belalang, cacing dan hama serangga lainnya) Chlordane (pestisida mengendalikan rayap dan serangga dengan spektrum yang lebih luas) DDT (pestisida untuk melindungi manusia dari malaria, tikus dan penyakit lainnya), Dieldrin (mengendalikan hama tekstil), Endrin (mengendalikan hama tikus dan hama pengerat lainnya) heptachlor (membunuh serangga tanah, rayap, belalang dan nyamuk)
Mirex (membunuh semut dan penghambat api), Toxaphene (melindungi tanaman kapas, padi, kacang-kacangan dan sayuran) hexachlorobenzene (membasmi jamur tanaman)
PCB (bahan industri sebagai cairan penyangga panas dalam trafo dan kapasitor serta sebagai bahan tambah dalam cat. kertas karbon dan plastik)
Dioxin (bahan hasil pembakaran tidak sempurna dalam proses pembuatan pestisida dan bahan kimia lain), Furans (hasil pembakaran tidak sempurna yang mengeluarkan dioxin, bahan ini ditemukan dalam campuran PCB yang diperdagangkan)
Menyadari akan resiko bahan POPs bagi kesehatan manusia dan lingkungan hidup, maka pada bulan februari 1997 United Nations on Environmental Programme (UNEP) memutuskan penyusunan pengaturan mengenai POPs. Keputusan tersebut ditindak lanjuti dalam siding World Health Organization (WHO) yang menerima pengaturan mengenai POPs pada bulan mei 1997. Selanjutnya pada bulan juni 1998 Komisi Antar Pemerintah memutuskan pengaturan mengenai POPs agar ditingkatkan menjadi suatu konvensi. Pada tanggal 23 mei 2001, sebanyak 151 negara termasuk Indonesia menandatangani Stockholm Convention on persistent Organic Pollutants (Konvensi Stockholm tentang Bahan Pencemar Organik yang Persisten). Konvensi ini mulai berlaku (entry into force) pada tanggal 17 mei 2004.
Konvensi ini bertujuan untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan hidup dari bahan POPs dengan cara melarang, mengurangi, membatasi produksi dan penggunaannya serta mengelola timbunan bahan POPs yang berwawasan lingkungan.
Dampak POPs bagi kesehatan manusia antara lain gangguan sistem kekebalan tubuh, kanker, sistem susunan saraf, berdampak kronis pada proses reproduksi, gangguan pencernaan dan lesi pada kulit
Tidak ada komentar:
Posting Komentar