Minggu, 01 Maret 2015

PEMBACA ADALAH “PEMIMPIN”

Kalimat ini saya dapatkan di salah satu perpustakaan sekolah dasar yang ada di Perth-Western Australia. Kalimat ini dibuat oleh petugas di perpustakaan sekolah memasang foto-foto anak-anak yang membaca buku jenis apa saja yang ada di perpustakaan. Saya hanya dapat menyimpulkan secara awal makna yang dibuat oleh petugas tersebut, adalah bagaimana jika sejak usia dini sudah dibiasakan membaca buku bacaan dan buku pengetahuan yang ada di perpustakaan sekolah akan memberikan efek yang luar biasa di masa depan anak-anak tersebut. Kita tahu, kualitas suatu bangsa ditentukan oleh kebiasaan belajar yang dimanifestasikan oleh kemauan membaca dan menyerap informasi. Kebiasaan dan kemampuan membaca memberikan sumbangan penting bagi pembentukan pengetahuan, keluasan wawasan, dan kecerdasan. Selain itu, kebiasaan dan kemampuan membaca berpotensi meningkatkan angka melek huruf yang secara langsung menentukan kualitas bangsa.

Mengapa? Jawabannya karena semakin sering anak-anak membaca buku ilmu pengetahuan, sejarah dan lain-lain yang dimiliki oleh perpustakaan sekolah, maka akan dapat membekali pengetahuan pada anak-anak dalam rangka mempersiapkan masa depan anak-anak tersebut. Ini bisa terjadi karena, semua pihak yang berkepentingan terhadap masa depan anak (baca: orang tua, sekolah dan pemerintah) di kota Perth saling bekerja sama untuk mendorong anak-anak gemar membaca buku, sehingga tidak jarang sejak kecil anak-anak sudah mempunyai koleksi buku bacaan dan buku ilmu pengetahuan atau lainnya di rumah masing-masing. Orang tua tidak hanya membelikan mainan elektronik atau mainan lainnya, tetapi juga membelikan atau meminjam buku bacaan dari perpustakaan yang ada di sekolah atau di perpustakaan yang tersedia disetiap lingkungan rumah agar anak-anak mereka banyak membaca. Pihak sekolah mempunyai kurikulum yang mengajak siswa-siswi untuk terus membaca dan merangkum bacaan mereka melalui tugas-tugas sekolahnya, sedangkan pemerintah juga memfasilitasi dan mengatur para penerbit buku untuk membuat buku bacaan, ilmu pengetahuan dan lain-lain yang disesuaikan dengan usia siswa-siswi.




Sementara itu di negeri kelahiranku, kebiasaan dan minat membaca boleh dibilang sangat rendah. Hal ini tidak hanya terjadi pada anak-anak, tetapi juga pada orang-orang dewasa. Banyak faktor yang mempengaruhi mengapa minat baca di masyarakat kita sangat rendah. Kita bisa mengambil contoh yang paling sederhana, mari kita tanya petugas perpustakaan yang ada disekolah anak-anak kita. Berapa banyak anak-anak yang datang ke perpustakaan untuk meminjam atau membaca buku. Insya Allah jawabannya adalah sekitar 10-20% dari total jumlah siswa-siswi tersebut datang ke perpustakaan untuk membaca. Ini sangat berbeda di negara-negara maju, dimana tingkat peminjam buku perpustakaan sekitar 80% dari total siswa-siswi yang ada di sekolah masing-masing.

Kita sebagai orang tua, secara tidak sadar ikut memperburuk angka tersebut, mengapa? Kita lebih suka mendorong atau membelikan anak-anak sebagai penikmat berbagai teknologi digital, seperti televisi, telepon genggam, video game, dan internet. Sampai-sampai mereka melupakan membaca, yang sangat penting untuk membentuk karakter dan kecerdasan. Kita jarang mengajak anak-anak kita untuk menabung untuk membeli sebuah atau beberapa buku bacaan. Kita juga jarang mengajak anak-anak kita ke perpustakaan daerah yang ada di wilayah kita.

Lingkungan sekitar kita juga punya peranan yang signifikan terhadap budaya minat baca. Mengapa? Munkin kita sering mendengar omongan seperti: “Jangan banyak membaca nanti jadi kutu buku dan merusak mata….”. Kalimat ini sama saja seperti ajakan untuk jangan membaca, karena akan merugikan diri sendiri dan merugikan kesehatan. Hal ini tentu saja membuat anak akan mulai meninggalkan buku, karena anak dengan frekuensi membaca buku tinggi (bahkan yang frekuensinya sedang pun sering diberi julukan si kutu buku) akan dicap sebagai anak yang tingkat sosialisasinya rendah.

Sekolah juga punya peranan yang cukup penting dalam pembentukan karakter peserta didik untuk menyenangi membaca buku, terutama buku-buku ilmu pengetahuan penunjang pelajaran sekolah. Banyak sekolah yang lebih mementingkan bangunan fisik dibandingkan dengan fasilitas perpustakaan. Fasilitas perpustakaan yang saya maksudkan disini adalah, jumlah koleksi buku bacaan dan pengaturan perpustakaan sebagai tempat yang menyenangkan dan nyaman untuk anak-anak. Sekolah di negara kita juga belum membuat program yang mendorong siswa-siswi untuk gemar membaca, misalnya: membuat bulan atau minggu membaca dengan tema yang bermacam-macam. Contohnya, dalam rangka hari pahlawan, perpustakaan menyediakan beberapa jenis bacaan yang bercerita tentang perjuangan bangsa Indonesia, dan selanjutnya siswa-siswi dapat meminjam salah satu buku tersebut kemudian merangkum dalam bentuk tugas sekolah yang disesuaikan dengan tingkatan kelas.

Penerbit buku, secara tidak langsung juga mempunyai peranan terhadap rendahnya budaya membaca di masyarakat kita. Penerbit buku masih ada yang lebih melihat kelayakan buku dari sisi ekonomis atau layak jual tidak, belum mengarah untuk meningkatkan atau memperbanyak koleksi buku yang akan dicetak. Sehingga hanya mencetak dan menerbitkan buku-buku yang dianggap dapat meningkatkan pendapatan ekonominya saja. Penerbit buku juga ada yang masih “menempel” pada “penguasa pendidikan” untuk dapat memuluskan satu atau beberapa buku pelajaran atau buku bacaan agar setiap sekolah akan/harus membeli ke penerbit tersebut, dan lain-lain.

Pemerintah sebagai fasilitator juga masih belum beranjak untuk membangun budaya membaca buku bagi masyarakat. Pemerintah sepertinya hanya sibuk memikirkan keadaan politik bagi golongan mereka sendiri, sehingga sepertinya mengabaikan apa yang menjadi amanah dalam UUD 1945 untuk mensejahterakan masyarakat kita dalam bidang pendidikan, terutama bidang membaca buku. Pemerintah belum memberikan peningkatan jumlah dan kualitas perpustakaan yang ada di suatu sekolah dan daerah-daerah, dan lain-lain.

Kompleksnya masalah membangun budaya dan kebiasaan membaca pada masyarakat kita akan dapat berlarut-larut sampai beberapa tahun ke depan dan kemungkinan dapat terjadi sampai beberapa generasi mendatang, jika semua komponen yang berada dalam lingkaran tersebut tidak/saling bekerja sama. Harapan saya, semoga teman-teman dan masyarakat Indonesia yang berada dimana saja yang membaca artikel ini bisa menginisiasi kemunculan majalah-majalah anak yang menarik, murah dan berisi untuk mulai menanamkan kebiasaan membaca pada anak. Buku adalah jendela ilmu, membaca adalah pemimpin…IQRA’ !!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

7 alat pengawasan mutu (seven tools) dalam Statistical Quality Control

a.        Flowchart Diagram yang menggambarkan urutan suatu proses, dipakai untuk menentukan bagian mana dari proses yang bisa dijadikan...